Cari Blog Ini

Rabu, 01 Agustus 2018

Berjalan kaki 7 jam Melewati Hutan Tropis, Demi Suku Baduy Dalam.



Berawal dari niat untuk mengetahui budaya Indonesia, saya berinisiatif melakukan perjalanan mengunjungi suku pedalaman yang terdekat dari tempat saya tinggal. Indonesia memiliki lebih dari 1300 suku yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satunya ialah suku Baduy yang berada di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kab. Lebak Provinsi Banten. Dengan mengandalkan trour Bantanesia, mengantarkan saya menuju perkampungan suku Baduy. Harga yang ditawarkan oleh tour Bantanesia pun cukup terjangkau, saya melihat detail interary di akun Instagram @bantanesia_
Perjalanan dari Jakarta, kami berkumpul di lokasi meeting point stasiun tanah Abang yang berada di Jakarta pusat. Kebetulan saya mengajak teman saya bernama Adel untuk ikut join open trip menuju kampung Baduy. Dalam perjalanan saya bertemu dengan teman-teman baru yaitu Vanmo, Dian, Shabilla, Berliana, Uci dan Zuheir. Kami pun di pandu oleh tim guide Bantenesia bernama Kang Atepatepatep dan Dedy yang sangat ramah dan bersahabat. Perjalanan dari stasiun Tanah Abang menuju ke stasiun Maja kurang lebih 2 jam. Kemudian dilanjutkan dengan menaiki mobil menuju Ciboleger yang merupakan pemberhentian terakhir kendaraan bermotor sebelum memasuki kampung suku Baduy.
Tepat pukul 12 siang, tim kami terdiri dari 8 orang peserta open trip, dua pemandu dari Bantanesia serta satu orang pemandu dari suku Baduy Dalam bernama kang Sanib. Perjalanan kami tempuh nantinya memakan waktu berjam-jam menembus hutan tropis di pegunungan Kendeng dengan berjalan kaki.

Suku Baduy Luar

Langakah kaki kami menanjak, ketika memasuki Desa suku Baduy Luar. Pemandangan pertama yang saya lihat adalah jajaran rumah yang terbuat dari n…….. kemudian atap rumah terbuat dari ijuk. Di depan beberapa rumah tampak wanita baduy luar sedang menenun kain khas suku baduy. Kain tenun merupakan salah satu produk yang banyak dijual oleh suku Baduy Luar. Jumlah Desa suku Baduy Luar di Lebak sekitar 50 Desa yang tersebar di pegunungan Kendeng.
Saya dan tim memasuki desa perkampungan suku Baduy luar pertama yaitu Desa Kadukutek yang lokasinya di bagian utara Kanekes. Namun di dalam rumah terlihat warga sudah memakai teknologi modern seperti TV, radio, kipas angin, berbeda dengan suku Baduy Dalam yang tak mengijinkan warganya memakai teknologi modern. Guratan senyum terlihat hampir setiap warga Baduy luar yang saya lewati ketika saya berinisiatif menyapa mereka.
Baju yang biasa di pakai oleh suku Baduy Luar adalah baju berwarna hitam dan sarung khas suku Baduy. Namun tak jarang ada pula yang memakai kaos oblong seperti masyarakat modern. Namun dibalik warna hitam, ternyata memiliki makna bahwa warga suku Baduy telah kotor dan terkontaminasi oleh modernisasi sehingga mereka harus keluar dari wilayah Baduy Dalam dan bermukim di Baduy Luar.

Hutan Tropis Pegunungan Kendeng

Setelah melewati desa pertama, kami menempuh desa kedua yaitu Balingbing dengan jarak tempuh satu jam berjalan kaki. Perjalanan kami mulai bertambah berat, karena kami harus menanjak naik pegunungan Kendeng. Tak jarang tim harus berhenti berjalan untuk beristirahat. Karena wilayah suku Baduy berada di kaki Gunung Kendeng dengan ketinggian 300-600 meter dari permukaan laut. Topografi wilayah Baduy berbukit dan bergelombang dengan kemiringan rata-rata 45°. Namun mata tak berhenti takjub dengan keindahan alam lukisan yang pencipta pegunungan Kendeng, serta pepohonan hijau di dalam hutan tropis.
            Ketika mulai memasuki desa ke tiga yaitu Desa Gajebo, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Dengan terpaksa kami pun beristirahat di gubug selama hampir setengah jam untuk berteduh. Perjalanan dari Desa kedua menuju ke desa ketiga sekitar dua jam. Setelah hujan cukup reda, kami melanjutkan perjalanan. Kami harus melewati Tanjakan Bongkok untuk memasuki desa Gajebo. Tanjakan tersebut sengaja di sebut Tanjakan Bongkok karena memiliki kemiringan sekitar 80° sehingga kita harus membungkuk ketika menanjak. Perjalanan terasa sangat sulit karena tanah yang kita pijak sangat gembur dan becek setelah hujan deras. Tak jarang tim berkali-kali terjatuh dan terpeleset ketika melewati tanjakan, namun para anggota tim saling membantu sehingga semua terasa lebih ringan. Namun ditengah perjalnan, salah satu teman saya uchi hampir pingsan karena kelelahan.  Setelah melewati tanjakan bongkok, tim pun kembali beristirahat, dan salah satu pemandu kami kang Atep segera melakukan pertolongan kepada uchi.
            Setelah kondisi uchi mulai membaik, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Gajebo. Setelah melewati Tanjakan Bongkok, setengah jam kemudian kami sampai ke Desa Gajebo tepat pukul setengah 4 sore dan hujan pun mulai reda. Memasuki Desa ketiga, suasana lebih tenang dan masyarakat yang memakai teknologi modern tak sebanyak yang berada di Desa sebelumnya.

                                                   Tujuh Jam Melewati Hutan Tropis  Disertai Hujan Lebat

Satu jam setelah melewati Desa Gajebo, awan mendung mulai menyelimuti wilayah pegunungan Kendeng. Kami sudah bersiap kembali memakai jas hujan, namun ternyata tak semua tim membawa jas hujan. Beberapa saat kemudian hujan turun semakin lebat pukul setengah enam sore, sehingga pandangan mata kami sempit karena sangat gelap. Parahnya selain hawa dingin yang menusuk tulang, hanya sedikit anggota tim membawa senter sehingga tanpa sadar tim pun terpisah-pisah.
Saya hanya bersama  empat kawan saya yaitu adel, Vanmo, Dian dan Zuhaer. Anggota tim lain saling bergabung dengan tim lain yang memiliki tujuan yang sama yaitu Baduy Dalam. Tak jarang saya dan teman saya harus terjatuh di tanah yang penuh dengan genangan air dan lumpur. Bahkan saya sempat hampir putus asa karena keleahan dan kedinginan, namun semua itu saya tepis demi berkunjung ke wilayah suku Baduy Dalam. Ditengah perjalanan malam itu, ada lebih dari empat tim lain yang memilih pulang karena merasa tak sanggup melanjutkan perjalanan. Namun pada akhirnya semua tim yang terdiri dari 11 termasuk pemandu sampai di Desa Cibeo Baduy Dalam. Perjalnan dari Desa Gejebo menuju Cibeo yang biasanya memakan waktu dua jam kini menjadi 3 jam karena hujan yan sangat deras, sehingga total tim melakukan pejalanan melewati hutan selama 7 jam lebih.


Suku Baduy Dalam Desa Cibeo

Suku Baduy Dalam meiliki tiga Desa utama yaitu Desa Cikeusik, Desa Cikertawana, dan Desa Cibeo. Malam itu tepat pukul 7 jam malam, kami tiba di Desa Cibeo. Suasana gelap dan tenang menyelimuti Desa tersebut, maklum karena desa Cibeo adalah desa yang di tinggali oleh suku asli Baduy Dalam yang masih memegang teguh aturan adat yaitu tak menggunakan peralatan modern seperti listrik. Kami pun mengandalkan cahaya lampu templek atau ublik yaitu api yang berasal dari bambu yang di bentuk memiliki cekungan yang di isi dengan minyak kelapa dan sumbu.
            Dengan langkah gontai, kedinginan dan kelelahan kami di pandu menuju rumah kang Sanib. Kang sanib merupakan warga asli suku Baduy Dalam rekan dari tour Bantanesia yang ikut memandu kami dari awal perjalanan. Kami semua memasuki rumah sederhana yang kokoh tanpa terdapat paku, hanya di ikat dengan sabut kelapa. Disitu kami dijamu oleh keluarga kecil kang Sanib dengan makanan sederhana namun sangat enak yaitu telor dadar, oseng jamur, lalap terong, sambal, nasi dan ikan asin. Setelah berganti pakaian dan makan, kami berkumpul di ruang tengah untuk berdiskusi tentang adat istiadat suku Baduy Dalam ditemani oleh teh dan kopi hangat di pinggir perapian. Rumah kang sanib tak cukup luas, hanya terdiri dari 3 ruangan yaitu ruang tamu tanpa kursi, ruang tidur beralas tikar serta dapur, namun sangat nyaman dan hangat.


Antara Karir atau Ibu Rumah Tangga…..?



Seorang wanita memiliki tugas yang komplesk dalam hidupnya. Ketika sudah memasuki fase membangun rumah tangga, tak jarang wanita akan dihadapkan antara dua pilihan yang tak bisa dianggap enteng yaitu antara kewajiban mereka sebagai ibu rumah tangga untuk mengurus suami dan merawat anak atau memilih sebagai wanita karir.
Perbincangan ini muncul ketika saya melakukan brainstorming dengan teman-teman dari beberapa profesi, baik dari akademisi, pebisnis ataupun ibu rumah tangga. Saya pun mendapat hasil yang imbang, 50% setelah menikah mereka akan memilih sebagai wanita karir dan 50% memilih fokus sebagai ibu rumah tangga dan meninggalkan pekerjaan mereka.
Namun, menurut pemikiran saya sebagai landasan berfikir kita patut menjadikan acuan “Agama” sebagai landasan awal sebelum melangkah. Jika ditinjau lebih jauh, tugas penting seorang wanita ialah menjadi seorang ibu yang menjadi madrasah untuk anaknya dan menjadi istri yang baik untuk suaminya. Karena di balik anak yang cerdas, ada peran ibu yang sangat telaten mengajarkan berbagai ilmu untuk ankanya. Di balik suami yang berhasil ada sosok istri setia yang selalu mendukung dan menenangkan serta memberikan ide-ide segar tanpa menyudutkan suami.
Disisi lain, peran seorang wanita di dalam rumah tangga sangat kompleks. Jika tidak ada seorang ibu dalam rumah tangga, dapur menjadi kacau, rumah menjadi sepi karena tidak ada sosok wanita yang menghangatkan suasana rumah.
Namun,….
Wanita karir pun juga penting, karena seorang ibu bisa menjadi wanita yang berkualitas dengan pengetahuan baru yang dia dapat di luar rumah serta kemandirian dalan menyelesaikan masalah di dalam pekerjaan.
Kesimpulannya…..
Wanita peran utamanya adalah “Ibu Rumah Tangga”, jika ia bisa menatur waktu untuk berkarir dan menjadi ibu rumah tangga yang baik silahkan teruskan profesi anda. Namun, jika prioritas anda kepada karir dan mengesampingkan rumah tangga, percayalah anda akan menjadi wanita yang “sangat rugi”.
Karena waktu tidak akan berputar kembali…. Karena harta terindah dalam hidup adalah “KELUARGA”.



By : Nikmatus Sholikah (Nicmah)