Berawal dari niat untuk mengetahui budaya Indonesia,
saya berinisiatif melakukan perjalanan mengunjungi suku pedalaman yang terdekat
dari tempat saya tinggal. Indonesia memiliki lebih dari 1300 suku yang tersebar
di seluruh Indonesia. Salah satunya ialah suku Baduy yang berada di Desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kab. Lebak Provinsi Banten. Dengan mengandalkan
trour Bantanesia, mengantarkan saya menuju perkampungan suku Baduy. Harga yang
ditawarkan oleh tour Bantanesia pun cukup terjangkau, saya melihat detail
interary di akun Instagram @bantanesia_
Perjalanan dari Jakarta, kami berkumpul di lokasi meeting point stasiun tanah Abang yang
berada di Jakarta pusat. Kebetulan saya mengajak teman saya bernama Adel untuk
ikut join open trip menuju kampung Baduy. Dalam perjalanan saya bertemu
dengan teman-teman baru yaitu Vanmo, Dian, Shabilla, Berliana, Uci dan Zuheir.
Kami pun di pandu oleh tim guide Bantenesia bernama Kang Atepatepatep dan Dedy
yang sangat ramah dan bersahabat. Perjalanan dari stasiun Tanah Abang menuju ke
stasiun Maja kurang lebih 2 jam. Kemudian dilanjutkan dengan menaiki mobil
menuju Ciboleger yang merupakan pemberhentian terakhir kendaraan bermotor
sebelum memasuki kampung suku Baduy.
Tepat pukul 12 siang, tim kami terdiri dari 8 orang
peserta open trip, dua pemandu dari Bantanesia serta satu orang pemandu dari
suku Baduy Dalam bernama kang Sanib. Perjalanan kami tempuh nantinya memakan
waktu berjam-jam menembus hutan tropis di pegunungan Kendeng dengan berjalan
kaki.
Suku Baduy Luar
Langakah kaki kami menanjak, ketika memasuki Desa suku
Baduy Luar. Pemandangan pertama yang saya lihat adalah jajaran rumah yang
terbuat dari n…….. kemudian atap rumah terbuat dari ijuk. Di depan beberapa
rumah tampak wanita baduy luar sedang menenun kain khas suku baduy. Kain tenun
merupakan salah satu produk yang banyak dijual oleh suku Baduy Luar. Jumlah
Desa suku Baduy Luar di Lebak sekitar 50 Desa yang tersebar di pegunungan
Kendeng.
Saya dan tim memasuki desa perkampungan suku Baduy
luar pertama yaitu Desa Kadukutek yang lokasinya di bagian utara Kanekes. Namun
di dalam rumah terlihat warga sudah memakai teknologi modern seperti TV, radio,
kipas angin, berbeda dengan suku Baduy Dalam yang tak mengijinkan warganya
memakai teknologi modern. Guratan senyum terlihat hampir setiap warga Baduy
luar yang saya lewati ketika saya berinisiatif menyapa mereka.
Baju yang biasa di pakai oleh suku Baduy Luar adalah
baju berwarna hitam dan sarung khas suku Baduy. Namun tak jarang ada pula yang
memakai kaos oblong seperti masyarakat modern. Namun dibalik warna hitam,
ternyata memiliki makna bahwa warga suku Baduy telah kotor dan terkontaminasi
oleh modernisasi sehingga mereka harus keluar dari wilayah Baduy Dalam dan
bermukim di Baduy Luar.
Hutan Tropis Pegunungan Kendeng
Setelah melewati desa pertama, kami menempuh desa
kedua yaitu Balingbing dengan jarak tempuh satu jam berjalan kaki. Perjalanan
kami mulai bertambah berat, karena kami harus menanjak naik pegunungan Kendeng.
Tak jarang tim harus berhenti berjalan untuk beristirahat. Karena wilayah suku
Baduy berada di kaki Gunung Kendeng dengan ketinggian 300-600 meter dari
permukaan laut. Topografi wilayah Baduy berbukit dan bergelombang dengan
kemiringan rata-rata 45°. Namun mata tak berhenti takjub dengan keindahan alam
lukisan yang pencipta pegunungan Kendeng, serta pepohonan hijau di dalam hutan
tropis.
Ketika
mulai memasuki desa ke tiga yaitu Desa Gajebo, tiba-tiba hujan turun cukup
deras. Dengan terpaksa kami pun beristirahat di gubug selama hampir setengah
jam untuk berteduh. Perjalanan dari Desa kedua menuju ke desa ketiga sekitar
dua jam. Setelah hujan cukup reda, kami melanjutkan perjalanan. Kami harus
melewati Tanjakan Bongkok untuk
memasuki desa Gajebo. Tanjakan tersebut sengaja di sebut Tanjakan Bongkok karena
memiliki kemiringan sekitar 80° sehingga kita harus membungkuk ketika menanjak.
Perjalanan terasa sangat sulit karena tanah yang kita pijak sangat gembur dan
becek setelah hujan deras. Tak jarang tim berkali-kali terjatuh dan terpeleset
ketika melewati tanjakan, namun para anggota tim saling membantu sehingga semua
terasa lebih ringan. Namun ditengah perjalnan, salah satu teman saya uchi hampir
pingsan karena kelelahan. Setelah
melewati tanjakan bongkok, tim pun kembali beristirahat, dan salah satu pemandu
kami kang Atep segera melakukan pertolongan kepada uchi.
Setelah
kondisi uchi mulai membaik, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Gajebo.
Setelah melewati Tanjakan Bongkok, setengah jam kemudian kami sampai ke Desa
Gajebo tepat pukul setengah 4 sore dan hujan pun mulai reda. Memasuki Desa
ketiga, suasana lebih tenang dan masyarakat yang memakai teknologi modern tak
sebanyak yang berada di Desa sebelumnya.
Tujuh Jam Melewati Hutan Tropis Disertai Hujan Lebat
Satu jam setelah melewati Desa Gajebo, awan mendung
mulai menyelimuti wilayah pegunungan Kendeng. Kami sudah bersiap kembali
memakai jas hujan, namun ternyata tak semua tim membawa jas hujan. Beberapa
saat kemudian hujan turun semakin lebat pukul setengah enam sore, sehingga
pandangan mata kami sempit karena sangat gelap. Parahnya selain hawa dingin
yang menusuk tulang, hanya sedikit anggota tim membawa senter sehingga tanpa
sadar tim pun terpisah-pisah.
Saya hanya bersama
empat kawan saya yaitu adel, Vanmo, Dian dan Zuhaer. Anggota tim lain
saling bergabung dengan tim lain yang memiliki tujuan yang sama yaitu Baduy
Dalam. Tak jarang saya dan teman saya harus terjatuh di tanah yang penuh dengan
genangan air dan lumpur. Bahkan saya sempat hampir putus asa karena keleahan
dan kedinginan, namun semua itu saya tepis demi berkunjung ke wilayah suku
Baduy Dalam. Ditengah perjalanan malam itu, ada lebih dari empat tim lain yang
memilih pulang karena merasa tak sanggup melanjutkan perjalanan. Namun pada
akhirnya semua tim yang terdiri dari 11 termasuk pemandu sampai di Desa Cibeo
Baduy Dalam. Perjalnan dari Desa Gejebo menuju Cibeo yang biasanya memakan
waktu dua jam kini menjadi 3 jam karena hujan yan sangat deras, sehingga total
tim melakukan pejalanan melewati hutan selama 7 jam lebih.
Suku Baduy Dalam Desa Cibeo
Suku Baduy Dalam meiliki tiga Desa utama yaitu Desa Cikeusik, Desa Cikertawana, dan Desa Cibeo. Malam itu tepat pukul 7 jam malam, kami tiba di Desa Cibeo. Suasana gelap dan tenang menyelimuti Desa tersebut, maklum karena desa Cibeo adalah desa yang di tinggali oleh suku asli Baduy Dalam yang masih memegang teguh aturan adat yaitu tak menggunakan peralatan modern seperti listrik. Kami pun mengandalkan cahaya lampu templek atau ublik yaitu api yang berasal dari bambu yang di bentuk memiliki cekungan yang di isi dengan minyak kelapa dan sumbu.
Dengan
langkah gontai, kedinginan dan kelelahan kami di pandu menuju rumah kang Sanib.
Kang sanib merupakan warga asli suku Baduy Dalam rekan dari tour Bantanesia yang ikut memandu kami
dari awal perjalanan. Kami semua memasuki rumah sederhana yang kokoh tanpa
terdapat paku, hanya di ikat dengan sabut kelapa. Disitu kami dijamu oleh
keluarga kecil kang Sanib dengan makanan sederhana namun sangat enak yaitu
telor dadar, oseng jamur, lalap terong, sambal, nasi dan ikan asin. Setelah
berganti pakaian dan makan, kami berkumpul di ruang tengah untuk berdiskusi
tentang adat istiadat suku Baduy Dalam ditemani oleh teh dan kopi hangat di
pinggir perapian. Rumah kang sanib tak cukup luas, hanya terdiri dari 3 ruangan
yaitu ruang tamu tanpa kursi, ruang tidur beralas tikar serta dapur, namun
sangat nyaman dan hangat.